Mitos pertemuan Kanjeng Ratu kidul dengan panembahan Senopati
Mitos
pertemuan Kanjeng Ratu kidul dengan panembahan Senopati - Sebelum Panembahan
Senopati dinobatkan menjadi raja, beliau melakukan tapabrata di Dlepih dan Tapa
Ngeli. Dalam laku tapabratanya, beliau selalu memohon kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa agar dapat membimbing dan mengayomi
rakyatnya sehingga terwujud masyarakat yang adil dan makmur.
Baca Juga :
dan
Mitos pertemuan Kanjeng Ratu kidul dengan panembahan Senopati |
Dalam cerita, pada
waktu panembahan Senopati melakukan tapa ngeli, Sampai di tempuran atau tempat
bertemunya aliran sungai opak dan sungai Gajah wong di dekat desa Plered dan
sudah dekat dengan Parang Kusumo, tiba-tiba terjadilah badai yang dahsyat
sehingga pohon-pohon di pesisir pantai tercabut beserta akarnya, ikan-ikan
terlempar ke darat dan menjadikan air laut menjadi panas seolah-olah mendidih.
Bencana alam ini menarik perhatian Kanjeng ratu Kidul yang kemudian muncul di
permukaan laut mencari penyebab terjadinya bencana alam tersebut.
Dalam pencariannya,
Kanjeng Ratu kidul menemukan seorang satria sedang bertapa di tempuran sungai
Opak dan sungai Gajah Wong, yang tidak lain adalah sang Panembahan Senopati.
Pada waktu Kanjeng Ratu kidul melihat ketampanan senopati, ia jatuh cinta.
Selanjutnya Kanjeng Ratu Kidul menanyakan apa yang menjadi keinginan Panembahan
Senopati sehingga melakukan tapabrata yang sangat berat dan menimbulkan benana
alam di laut selatan, kemudian Panembahan menjelaskan keinginannya.
Kanjeng Ratu kidul
memperkenalkan diri sebagai ratu di Laut Selatan dengan Segala kekuasaan dan
kesaktiannya. Kanjeng Ratu kidul menyanggupi untuk membantu Panembahan Senopati
mencapai cita-cita yang diinginkan dengan syarat, bila terkabul keinginanya
maka Panembahan senopati beserta raja-raja keturunannya bersedia menjadi suami
kanjeng ratu kidul. Panembahan senopati menyanggupi persyaratan Kanjeng ratu
kidul, namun dengan ketentuan bahwa perkawinan antara panembahan senopati dan
keturunannya tidak menghasilkan anak. Setelah terjadi kesepakatan itu, maka
alam kembali tenang dan ikan-ikan yang setengah mati hidup kembali.
Adanya perkawinan itu
konon mengandung makna simbolis bersatunya air (laut) dengan bumi
(daratan/tanah). Ratu kidul dilambangkan dengan air, sedangkan raja Mataram
dilambangkan dengan bumi. Makna simbolisnya adalah dengan bersatunya air dan
bumi, maka akan membawa kesuburan bagi kehidupan kerajaan mataram yang akan
datang.
Menurut sejarah,
dikisahkan bahwa Panembahan Senopati sebagai raja mataram yang beristrikan
Kanjeng Ratu Kidul tersebut merupakan cikal bakal atau leluhur para raja
Mataram, termasuk Keraton Surakarta Hadiningrat. Oleh karena itu, raja-raja
Keraton Surakarta sesuai dengan janji Panembahan Senopati menjadi Suami dari
Kanjeng Ratu Kidul. Dalam perkembangannya, Raja Paku Buwana III Selaku Kanjeng
Ratu Kidul telah mendirikan Panggung Sangga Buwana sebagai tempat pertemuannya.
Selanjutnya tradisi ra-raja Surakarta sebagai suami Kanjeng Ratu Kidul
berlangsung terus sampai dengan Raja Paku Buwana X. Alkisah pak Buwana X yang
merupakan suami Ratu Kidul sedang bermain asmara di Panggung Sangga Buwana.
Pada saat mereka berdua menuruni tangga panggung yang curam tiba-tiba Paku
Buwana X terpeleset dan hamir jatuh dari tangga tetapi berhasil diselamatkan
oleh Kanjeng Ratu Kidul. Dalam kekagetannya itu Ratu Kidul berseru : Anakku
ngger..... “ (Oh....... Anakku). Apa yang diucapkan oleh Kanjeng Ratu Kidul itu
sebagai sabda Pandito Ratu artinya sabda raja harus ditaati. Sejak saat itu
hubungan kedudukan Mereka berdua berubah bukanlah lagi sebagai suami istri,
tetapi hubungannya sebagai ibu dan anak, begitu pula terhadap raja-raja
keturunan Paku Buwana X selanjutnya.
Dalam pandangan sejarah
modern tentunya cerita rakyat semacam itu tidak mengandung nilai sejarah. Akan
tetapi, bagi masyarakat tradisional hal itu dianggap sebagai sesuatu yang
benar-benar terjadi. Cerita itu kemudian dijadikan sebagai simbol identitas
bersama mereka dan sebagai alat legitimasi tentang keberadaan mereka.
Penyebaran dan
pewarisan tradisi lisan memiliki banyak Versi tentang satu cerita yang sama.
Hal ini menunjukkan dalam penyebaran dan pewarisan tradisi lisan telah terjadi
pembiasan dari kisah aslinya. Hal ini dikarenakan ingatan manusia terbatas,
kemampuan seseorang berbeda, dan adanya keinginan untuk memberikan variasi-variasi
baru pada cerita-cerita tersebut. Oleh karena itu, kisah sejarah yang
disalurkan lewat tradisi lisan akan terus mengalami perubahan. Perubahan bisa
terjadi, akibat adanya imajinasi dan fantasi dari pencerita. Akibatnya, fakta
sejara makin kabur karena adanya pengurangan atau penambahan dari masing-masing
narasumber.
Tag : Mitos pertemuan Kanjeng Ratu kidul dengan panembahan Senopati,Mitos pertemuan Kanjeng Ratu kidul dengan panembahan Senopati, Mitos pertemuan Kanjeng Ratu kidul dengan panembahan Senopati,Mitos pertemuan Kanjeng Ratu kidul dengan panembahan Senopati, Mitos pertemuan Kanjeng Ratu kidul dengan panembahan Senopati,Mitos pertemuan Kanjeng Ratu kidul dengan panembahan Senopati, Mitos pertemuan Kanjeng Ratu kidul dengan panembahan Senopati, Mitos pertemuan Kanjeng Ratu kidul dengan panembahan Senopati, Mitos pertemuan Kanjeng Ratu kidul dengan panembahan Senopati, Mitos pertemuan Kanjeng Ratu kidul dengan panembahan Senopati, Mitos pertemuan Kanjeng Ratu kidul dengan panembahan Senopati, Mitos pertemuan Kanjeng Ratu kidul dengan panembahan Senopati, Mitos pertemuan Kanjeng Ratu kidul dengan panembahan Senopati,Mitos pertemuan Kanjeng Ratu kidul dengan panembahan Senopati, Mitos pertemuan Kanjeng Ratu kidul dengan panembahan Senopati, Mitos pertemuan Kanjeng Ratu kidul dengan panembahan Senopati,Mitos pertemuan Kanjeng Ratu kidul dengan panembahan Senopati
0 Response to "Mitos pertemuan Kanjeng Ratu kidul dengan panembahan Senopati"
Post a Comment
Tolong Jangan Melakukan SPAM ya.
KOMENTARLAH SESUAI ARTIKEL DI ATAS :)
TERIMA KASIH
ADMIN
INDRA SAPUTRA