Cerpen : Tak Sempat Mengenal
Tak Sempat Mengenal
by : Wahyu Candra Pradipta
Jantung hati ini masih
berdegup kencang saat melihat gadis itu melintas. Paras cantik, senyum menawan,
dan aura ceria yang ia pancarkan mampu menggetarkan jiwa seorang pemuda.
Terlebih pancaran indah mata itu, mampu menarik setiap kaum Adam yang
menatapnya, menuntun mereka pada ruang fantasi tanpa batas. Efeknya hampir sama
seperti marijuana, menimbulkan euforia sesaat, lalu ketergantungan yang
keberpanjangan. Hingga laki-laki itu tak tahu kapan akan berhenti.
Sama seperti mereka, akupun
demikian. Seolah gadis cantik berkamata itu telah mengambil sebagian dari
jiwaku. Menenggelamkan pemuda ini dalam dimensi khayal luar biasa. Hingga tak
mampu lagi lepas dari bayang-bayangnya. Di manapun dan kapanpun kaki ini
melangkah, siluet wajah berseri-seri itu selalu menggema. Bahkan dalam mimpipun
dia hampir selalu hadir. Melintas sekejap, lalu hilang. Meninggalkan sebuah
senyuman dan tatapan syahdu yang menentramkan.
Hah…, sayang aku hanya tahu
sebatas nama. Tyana, begitulah biasanya orang-orang memanggil gadis berbibir
merah itu. Selebihnya, aku tak tahu. Hanya sebatas nama, dan hanya itu.
Ingin rasanya aku mengenal
dia. Namun, sepertinya sudah terlambat. Terakhir kali kulihat, gadis yang kini
berkerudung itu telah memiliki kekasih. Dan pria itu nampak jauh lebih baik
dari pemuda yang saat ini masih hanyut dalam ambisi mimpi besarnya. Pemuda yang
berulang kali gagal, tapi tak ingin putus asa. Lelaki yang tak bisa membedakan
keras kepala dan pantang menyerah.
Pernah suatu waktu terbesit
dalam benakku untuk mendoakan kerusakan hubungan cinta Tyana. Namun, hal itu
urung dilakukan. Kemudian pemuda ini malah tertawa sendiri. Bukan gila, hanya
saja aku jadi merasa seperti tokoh antagonis dalam sebuah cerita yang selalu
menyalahkan orang lain atas kesalahan serta kepengecutannya sendiri.
Hahaha…, cinta itu memang
aneh, bukan? Saat kita mencoba menyimpannya sendiri, itu seperti sedang berada
di ruang hampa. Berjalan cepat atau berlari kencang sama saja, tiada guna.
Seolah kita merasa sudah melakukan hal besar, ternyata tidak. Kita masih
berdiri pada titik dan situasi yang sama. Semuanya tak berubah. Sampai kemudian
kita tersadar telah terjebak dalam sebuah pengharapan, mimpi, dan khayalan.
“Apakah bermimpi,
berkhayal, dan berharap itu salah?” tanyaku pada diriku yang berada di cermin.
“Tentu tidak,” jawabku
sendiri.
Jangan tertawa, it’s real.
Orang yang tertelan cinta memang hampir mirip orang gila. Kadang hal yang tidak
masuk akal akan dianggap biasa saja, seperti bicara pada diri sendiri misalnya.
Dan hal ini pasti sering kok kita lakukan, hanya saja butuh kebesaran hati
untuk mengakui.
****
Pada suatu malam, aku pergi ke salah satu teman guna mencari solusi. Banyak terselenting kabar kalau dia itu maestro soal cinta. Katanya sih teman priaku itu sudah menjalin kasih dengan lebih dari 30 kaum hawa. Mengagumkan memang. Tapi ada satu hal yang mengganjal dalam pikiran ini, laki-laki pendek belah pinggir itu seperti tak memiliki kriteria. Dari wanita cantik sampai yang jelek dilahapnya. So, kalau bergitu apa beda playboy dengan rakus? Mungkinkah dua sifat itu masihlah saudara?
Pada suatu malam, aku pergi ke salah satu teman guna mencari solusi. Banyak terselenting kabar kalau dia itu maestro soal cinta. Katanya sih teman priaku itu sudah menjalin kasih dengan lebih dari 30 kaum hawa. Mengagumkan memang. Tapi ada satu hal yang mengganjal dalam pikiran ini, laki-laki pendek belah pinggir itu seperti tak memiliki kriteria. Dari wanita cantik sampai yang jelek dilahapnya. So, kalau bergitu apa beda playboy dengan rakus? Mungkinkah dua sifat itu masihlah saudara?
Dia tertawa ketika aku
selesai menceritakan semua. “Bagaimana kau bisa mencintai gadis yang tak
dikenal?”
“Aku mengenalnya.”
“Hanya sebatas nama.”
“Apakah salah?” pria belah
pinggir itu menggeleng, “lalu?”
“Kurang tepat,” aku
mengernyitkan dahi, “cinta itu seperti permainan bola. Kau tak bisa hanya diam
berdiri menguasai bola untuk mencetak angka. Kau harus berlari menggiring bola
itu, lalu menendangnya ke gawang lawan!”
“Tapi, dia sudah punya pacar.”
“Ha?” dia tertawa lagi, “so
what?”
“Menyalahi aturan,” jawabku
sekenanya.
Laki-laki kurang tinggi itu
tertawa makin keras, “memangnya pacaran ada payung hukumnya? Tidak ada, kan?”
aku hanya diam, “bro, sampai saat ini tak pernah kudengar ada Negara dan Agama
menganjurkan orang-orang untuk berpacaran. Jadi, sejak awal pacaran itu sudah
salah. Berarti sedikit trik dan kecurangan juga tidak masalah, bukan?”
“Entahlah.”
Dia menghela nafas panjang,
“move on, bro! Carilah yang mampu kau gapai! Hanya cara ini yang bisa menjadi
solusi permasalahan kau. Temukan tempat yang baru! Tempat yang setidaknya
membuat kau nyaman!”
Setelah itu aku pulang.
Seperti biasa aku kembali berdiskusi dengan diri sendiri. Ngomong di depan
cermin, mirip seorang siswa yang sedang latihan pidato. Bisa kulihat wajah
sesosok pemuda bimbang di dalam cermin. Yang bingung mengambil keputusan. Di
lain sisi dia tak ingin dianggap pengecut karena tidak berani berkenalan dan
menyatakan cinta pada si gadis pujaan. Namun di sisi lain, dirinya juga tidak
ingin dianggap pecundang gara-gara melakukan trik kotor demi mendapatkan
perhatian dan rasa suka dari sang cewek idaman.
“Mengapa cinta amatlah
mudah bagi orang lain, tapi sulit untukku?” tanyaku pada si bayangan.
“Apakah aku memang harus mencari
tempat cinta yang lain?” tanyaku lagi pada bayangan.
Hah…, nyatanya pernah juga
aku mencoba cara itu, tapi tak berhasil. Biasanya hanya sampai pada tahap
pendekatan, tidak pernah lebih dari itu. Seolah-olah ada sesuatu yang dimiliki
Tyana namun tak dipunyai gadis lain. Seperti mata misalnya. Aku tidak pernah
menemukan mata yang sama. Mata indah layaknya aurora. Mata yang mampu
tenggelamkanku dalam efek marijuana.
Entah sampai kapan aku akan
terjebak dalam situasi ini? Apakah aku harus melakukan trik kotor? Ataukah aku
harus mencari gadis yang memilki X Zone? Seorang perempuan yang mampu membawaku
ke dalam ruang tanpa batas?
Hah…,
semua masalah ini terjadi karena aku tak sempat mengenalnya. Dan tidak memiliki
keberanian untuk mengenal Tyana. Padahal cinta amatlah butuh keberanian.
0 Response to "Cerpen : Tak Sempat Mengenal"
Post a Comment
Tolong Jangan Melakukan SPAM ya.
KOMENTARLAH SESUAI ARTIKEL DI ATAS :)
TERIMA KASIH
ADMIN
INDRA SAPUTRA